Saturday, November 28, 2009
Saturday, November 7, 2009
The cult of Meor
By RIZAL JOHAN
As a social-conscious artiste, Meor is vital voice.
He is a busker. A writer. A singer. A guitar player. A recording artiste. A father. A citizen. Meor Yusof Aziddin is all these things.
Some people know him as a Malay folk singer-songwriter who spent his early days busking at Central Market in Kuala Lumpur and who was even hauled up by the authorities for singing in the streets a few years ago.
Others, especially the younger generation of folk musicians and fans, have come to know this otai (old timer) because of his songs and his prolific career in music.
He is also known for being one of the earliest proponents of the underground folk scene, who shied away from the mainstream and made album-after-album with a tactician of a guerilla – lo-fi production and self-distribution.
The fringe has been Meor’s playground for years but instead of obscurity, the 41-year-old has discovered that the fringe, now more than ever, is the place to be.
It’s been an extremely productive year for Meor, who recently launched a new album, book and appeared in Rahmat Haron’s short film, Al-Fatehah Memali. Releasing an album is not unusual for Meor who already has six albums to his name.
Some of the more appreciated lyrics of our generation are those of Meor, including the stirring albums Itu Padang ... Aku DiSitu and Aku & Bulan.
This new album, however, is quite a departure for the folk artiste.
Entitled Dari Rakyat Untuk Rakyat (From The People For The People), it is Meor’s first electric effort complete with a backing band. The 10-track album is also socio-politically charged featuring lyrics by Hishamuddin Rais, Pyanhabib, Abdullah Jones and Rahmat Haron, among others.
“This is my biggest project to date,” said Meor in an interview.
“I asked my friends to contribute the lyrics and the themes are more about humanity than anything else. From there, I wrote the music for it and if they were happy with the accompanied music to their lyrics, then we kept the songs to be recorded later.”
The album was recorded at ISEEKMUSIC Studio in Subang Jaya, Selangor, in June. The studio belongs to Mokthar Rizal, the former drummer of Seven Collar T-Shirt who also served as Meor’s new album’s co-producer.
On the album, Meor took up duties for vocals, electric and acoustic guitar while the band consisted of Kunjai (bass), Ahmad Zahir (drums), Alia (keyboards) and Shafiq (cello).
“It’s great working with Mokhtar,” said Meor. “I am very happy with the album. It sounds really good for an independent production.”
Though the album is, as Meor described it, “politics for the people”.
The mood of the album is more humorous than serious. A fine example is the opening track I.S.A. (Ikut Suka Aku – loosely translated as Do As I Please), a mid-tempo reggae tune which questions the need for the Internal Security Act and the meaning of freedom.
It gets even funnier with the following track, Bapakku Seorang YB (My Father Is A VIP), which talks about corruption and cronyism.
Meor had already shown his knack for writing accompanying music to lyrics with his last album, Sakrat, which featured poems by Amirul Fakir.
He also contributed music to an anthology of A. Samad Said’s poems,Rindu Ibu, which he completed just before undertaking Dari Rakyat Untuk Rakyat.
Meor had started this project last year when he was based in Ipoh. He then relocated to Kuala Lumpur this year to concentrate fully on music and started his own events company, CRG-Communication, and began giving private guitar lessons.
“The new album is under CRG and it is fully independent. You won’t find my album in music retail shops. I am taking this opportunity to compete against the mainstream and to give buskers out there a chance to have their material recorded. My future plans with this company is to produce and publish music by buskers. I want to give buskers a chance,” said Meor about his company’s focus.
Besides music, other avenues have opened up for the singer-songwriter. Just last weekend, Meor’s book, Sembang Tepi Jalan, was officially launched and it consists of a series of articles he had written for the online portal, tokeikedai.net.my.
Meor also had time to star in the short film, Al-Fatehah Memali, directed by painter Rahmat Haron about the Memali incident in Kedah in 1985. He was contacted by Rahmat about a month ago and was asked to be part of the film.
“Rahmat is a fan and the short film uses my music. I play myself in the film and it’s about the journey we took to Memali and the songs written are dedicated to that incident.”
The short film was part of the recent Freedom Film Festival programme.
Meor, however, is unfazed by all the attention. Right now he is busy practising for the three-day KL Sing Song Festival 2009 which starts tonight at the Annexe Gallery, Central Market in Kuala Lumpur.
The fest, which features independent singer-songwriters, is now in its fifth year and Meor has been a constant participant since its inception.
“I’ve been performing there since it started and everytime they organise the festival, they invite me to play. The festival has grown over the years and it keeps getting bigger and bigger everytime. It’s such a major event now,” he said.
Meor takes the stage tomorrow night ... and as usual, without the fuss and hype.
> For a copy of Meor’s new album and book, contact 012-590 1798. Browse pestajiwa.net. Meor plays the KL Sing Song 2009 festival at the Annexe in Central Market, KL tomorrow night at 8.30pm.
Thursday, October 29, 2009
Sekitar Malam Pelancaran Album DRUR, 17 Oktober 2009
Sunday, October 18, 2009
BERNYANYILAH DARI HATINURANI*
Malam ini saya rasa seniman coba mengimbangi kuasawan. Kita lebih melakukannya dengan kata-kata berbeda dengan kuasawan yang selalu melakukannya melalui dana.
Kata-kata selalunya “mengkhayalkan” sementara dana “memungkinkan”. Biar apapun peranannya, malam ini, peranan seniman mungkin lebih untuk sekedar “menyedarkan.” Terlalu ramai kuasawan yang terlupa, khususnya kuasawan yang sedang benar-benar berkuasa.
Tema utama kita tampaknya ialah “Dari Rakyat ke Rakyat”. Tapi, sebenarnya kita ingin berdialog dengan pemimpin—kita bercakap saja sesama sendiri, sesama rakyat.
Sebenarnya, kita menyanyi.
Dipercayai atau tidak sebuah lagu biasanya sebuah suara batin—suara dari batin—kejujuran dari batin. Dan malam ini, kejujuran dari batin coba menghantar reslitas masakini melalui lagu atau melodi yang lama terganggu. Ia penuh dengan rintih dan jerit; bisik dan raong. Tapi, isinya berlegar seputar ketidakadilan yang sedang berterusan—kepincangan masalalu (Fatehah Memali) dan ketimpangan masakini (Ikut Suka Aku—ISA).
Lagu-lagu sebondong ini terkadang tidak begitu melodius—lirik lebih nyaring daripada musik. Tapi, itulah kehidupan sebenar—real dan kasar—realitas yang sentiasa tidak melodius; yang melodius selalunya adalah khayalan.
Sebanyak 10 lagu terhimpun dalam album pedih ini, tapi kelahirannya memang petanda jujur bahawa masih terus ada duri siksa dalam masyarakat kita. Seniman membantah kepincangan ini.
Tentu saja akan ada setengah kuasawan yang menganggap bahawa album ini adalah serpihan propaganda. Benar juga—ia propaganda, tapi suara yang tulen. Ada propaganda melalui cogankata yang mendadak—cogankata (tahu-tahulah sendiri) yang sangat nyaring (atau memang dinyaringkan) kerana semua media utama (yang citak, yang letronik)—patuh (terkadang melampau) menjeritkan propaganda itu.
Ada bedanya antara propaganda institusi gergasi dengan propaganda jerit insan kecil. Yang perama sangat berazam diguruhkan; yang kedua sekedar berharap suaranya terdengar.
Di sinilah terletaknya album “Dari Rakyat ke Rakyat” oleh Meor Yusof Azidin (pada tempat-tempat tertentu disokong Black dan Rahmat Haron). Lagu-lagu dalam album ini adalah pesanan jujur (atau setingginya jeritan jujur) dari batin seniman yang sedang terdera—tersiksa oleh realitas hidup yang mendendangkan suara-suara bombas yang terlalu berat sebelah. Dan ingat, “pelampau” memang perlu diwaraskan. Keras yang buas perlu dilembuti tangan yang berhemah.
Lagu “Ikut Suka Aku—ISA” ini memang dengan mudah diselar sebagai propaganda politik kontemporer; sebaliknya, ia sebenarnya adalah jeritan masakini yang memang masih terus mendera.
Begitu juga lagu “Fatehah Memali” mudah diselar sebagai propaganda berhasrat. Padahal ia adalah jeritan semula masalalu yang tertimbus—atau ditimbus oleh kuasa lalu yang sangat gamam. Pemangsaan tidak pernah tidur nyenak; ia terpaksa bangun mewaraskan pemangsaannya. Makanya, lagu “Fatehah Memali” membangunkan yang tidur supaya dapat sama-sama mencari kejernihan, bukan meneruskan kekeruhan.
Sangat lama, malah sedang terus, kita didesak percaya bahawa insan Memali “gila”, kerajaannya yang waras ketika tercetusnya peristiwa. Jentera propaganda Kerajaan terlalu menekan dan menghukum ketika itu. Tapi, sekarang ini, generasi mudanya mula berupaya melahirkan iklim baru—yang salah wajar diperiksa. Mereka mencari kejernihan, bukan meneruskan kekeruhan.
Memangpun pada malam ini secara berdikit dan jujur, generasi muda ini ingin meluhurkan semula perjuangan. Masakini bukan lagi sepenuhmnya hak generasi lalu; masakini adalah lebih hak generasi kini.
Sokonglah “Dari Rakyat ke Rakyat.” Bernyanyilah dari hatinurani; bukan dari keangkuhan diri.—A. SAMAD SAID.
17 Oktober 2009.
catatan SampahSeni:
-Fatehah Memali dalam teks ini merujuk kepada lagu Syuhada Memali, lirik Amin Iskandar.
-Dari Rakyat Ke Rakyat merujuk kepada album Dari Rakyat Untuk Rakyat
Lagu ganti demonstrasi jalanan
Jimadie Shah Othman (Malaysiakini) Okt 18, 09 6:20pm |
Jika desakan terhadap pemansuhan Akta ISA sebelum ini dilihat sinonim dengan demonstrasi jalanan, pendekatan terbaru Gerakan Mansuhkan ISA (GMI) melalui nyanyian dan persembahan pentas mungkin boleh mengubah persepsi itu.
Malam tadi, seorang penyanyi folk berbakat besar, Meor Yusof Aziddin mengambil inisiatif melagukan kritikan pedas terhadap akta itu di atas pentas GMI.
"Fitnah, kau lontarkan tohmahan kau/kaupalitkan arang ke mukaku/apakah ertinya maruah di bawah fahaman kau/apakah ertinya hak di bawah telunjuk kau?" demikian senikata lagu ISA (Ikut Suka Aku) dipetik.
Dalam album Dari Rakyat untuk Rakyat (DRUR), Meor - penyanyi indie yang aktif dengan persembahan jalanan (baskin) - didokong beberapa penulis popular seperti Hishamudin Rais, Pyanhabib, Abdullah Jones dan Rahmat Haron yang tampil menyumbangkan lirik.
Beraksi hanya di sebuah dewan orang ramai di Kuala Lumpur malam tadi, program GMI kali ini berbeza sekali dengan pendekatan sebelumnya yang sering menganjurkan pidato politik yang berapi-rapi.
Di hadapan kira-kira 100 penonton yang hadir, Meor berjaya menyampaikan mesej tersiratnya dengan santai melalui dendangan lagu-lagu berentak catchy, antaranya, ISA (Ikut Suka Aku), Bapakku Seorang YB, Rakyat Bersatu dan Shuhada Memali.
Album propaganda
Sasterawan Negara A Samad Said, ahli parlimen ADUN Hulu Klang Saari Sungib, pengerusi GMI Syed Ibrahim Syed Noh dan penyair terkenal Dinsman turut hadir.
"Saya mahu meraikan pandangan rakan-rakan yang menulis lirik-lirik sebegini. Saya berkongsi pandangan dengan mereka. Selama ini tidak ada album sebegini dibuat.
"Kalau kita buka radio, hanya lagu-lagu yang sama juga dimainkan," kata anak kelahiran Perak itu.
Menurutnya lagi, setelah menghasilkan enam album, inilah kali pertama beliau merasa berpuas hati dengan hasil karyanya.
"Saya rasa inilah yang saya hendak lakukan. Ia selari dengan perkembangan semasa," kata peminat P Ramli itu.
DRUR memuatkan sepuluh lagu dan diterbitkan secara Do It Yourself (DIY) oleh pencipta dan penyanyinya sendiri. Buat masa ini, DRUR boleh didapati dengan menghubungi pengedarnya di talian 012-5901798.
Friday, October 16, 2009
T-Shirt DRUR
Sempena pelancaran album DRUR malam ini di Dewan MPAJ, AU2 pada pukul 8.00 malam ini, CRG Communication mengeluarkan T-Shirt DRUR.
Stoknya terhad. Terdapat dalam pelbagai warna seperti hitam, oren dan ungu.
Harga RM 30. Siapa cepat dia dapat.
Jumpa malam ini di Dewan MPAJ Au2!
Friday, October 9, 2009
Pelancaran Album DRUR
Majlis pelancaran album Dari Rakyat Untuk Rakyat (DRUR) oleh Meor Yusof Aziddin akan diadakan oleh CRG Communication dengan kerjasama Adun Hulu Kelang, YB Shaari Sungib dan Gerakan Mansuhkan ISA (GMI):
Tarikh: 17 Oktober 2009
Tempat: Dewan Serbaguna AU2, Taman Sri Keramat, Keramat.
Masa: 8.30 - 12 malam.
Majlis pelancaran ini akan mempersembahkan dokumentari "Al-Fatehah Memali", karya Rahmat Haron.
Selain daripada itu, ianya akan turut dimeriahkan oleh Datuk A. Samad Said, Kumpulan D Palang, Nik Binjidan, Amin Iskandar dan ramai lagi. Ada beberapa nama yang akan diumumkan kemudian.
Sila catatkan di kalender anda.
Jangan terlepas peluang untuk menghadiri program ini!
CRG Communication